Oleh: Rifa Anggyana, S.Pd., M.M. (Ketua Pembina IRMA Provinsi Jawa Barat)
Pesan Pembina untuk Kader IRMA Menyambut Hari-Hari Libur…
Menjelang libur akhir tahun, ada satu pertanyaan penting yang seharusnya hadir di hati setiap pelajar, khususnya kader IRMA: libur ini akan menjadi waktu bertumbuh, atau justru waktu yang terbuang? Libur bukan sekadar jeda dari tugas sekolah, tetapi juga kesempatan untuk memperbaiki diri, menambah ilmu, memperkuat ibadah, dan memperluas manfaat bagi orang lain.
Dalam ajaran Islam, waktu adalah amanah. Setiap hari yang kita miliki akan dimintai pertanggungjawaban. Karena itu, libur akhir tahun idealnya tidak diisi dengan hal yang menjauhkan kita dari nilai-nilai kebaikan, seperti kebiasaan bermalas-malasan, berlebihan dalam hiburan, atau larut dalam aktivitas yang tidak membangun. Justru sebaliknya: libur adalah momentum untuk membangun karakter, terutama bagi kader IRMA yang dipersiapkan menjadi pelajar teladan dan pemimpin kebaikan di lingkungan sekolah maupun masyarakat.
Libur sebagai Ladang Amal dan Pembentukan Karakter
Kader IRMA bukan hanya aktif dalam kegiatan rohis, tetapi juga menjadi contoh dalam adab, disiplin, dan kepedulian sosial. Maka, libur akhir tahun bisa diarahkan pada tiga pilar utama:
-
Menguatkan hubungan dengan Allah (hablumminallah)
Libur memberi ruang untuk memperbaiki kualitas ibadah yang sering terdesak oleh jadwal sekolah. Mulailah dengan hal sederhana namun konsisten: menjaga salat tepat waktu, memperbanyak tilawah, membiasakan dzikir pagi-petang, dan meluangkan waktu untuk memahami makna Al-Qur’an. Jika memungkinkan, buat target pribadi: misalnya menyelesaikan satu juz, atau menuntaskan satu tema kajian akhlak selama libur. -
Menguatkan hubungan dengan sesama (hablumminannas)
Kebaikan tidak berhenti di sajadah. Libur adalah waktu terbaik untuk membantu orang tua di rumah, menyambung silaturahmi, mengunjungi keluarga, dan memaafkan kesalahan yang pernah terjadi. Banyak masalah remaja lahir bukan karena kurang pintar, tetapi karena kurang adab dan kurang empati. IRMA harus hadir sebagai generasi yang lembut hatinya, kuat akhlaknya, dan ringan tangannya dalam menolong. -
Menguatkan hubungan dengan ilmu dan diri sendiri
Libur bukan berarti berhenti belajar. Bedanya, belajar saat libur lebih bebas: bisa membaca buku keislaman, melatih kemampuan public speaking untuk dakwah, belajar desain konten yang bermanfaat, atau memperdalam hafalan. Jadikan diri kita “naik kelas” secara akhlak dan kapasitas, bukan hanya naik kelas secara administratif.
Belajar dari Musibah: Menumbuhkan Iman dan Kepedulian
Pada saat yang sama, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap berbagai bencana yang terjadi di beberapa wilayah Sumatra. Saat sebagian orang menikmati liburan, ada saudara-saudara kita yang justru sedang berjuang: kehilangan harta benda, terpisah dari kenyamanan rumah, dan menghadapi hari-hari sulit. Dalam Islam, musibah adalah pengingat—bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk membangunkan hati.
Bencana mengajarkan bahwa hidup ini tidak sepenuhnya bisa kita kendalikan. Karena itu, kesombongan, kelalaian, dan sikap merasa aman adalah hal yang perlu kita koreksi. Ketika Allah menampakkan kuasa-Nya melalui peristiwa alam, itu seharusnya mendorong kita untuk lebih banyak bersyukur, lebih serius berdoa, dan lebih nyata dalam menolong sesama.
Di sinilah peran kader IRMA menjadi sangat penting. Kader tidak cukup hanya “aktif di kegiatan,” tetapi harus peka terhadap penderitaan umat. Jika tidak bisa hadir langsung, kita tetap bisa berkontribusi: menggalang donasi, menggerakkan infak Jumat khusus, membuat kampanye kepedulian yang santun di media sosial, mengirim doa bersama, atau mengadakan kegiatan “IRMA Peduli” di lingkungan sekolah dan masjid.
Yang perlu diingat, solidaritas bukan hanya soal nominal bantuan. Solidaritas adalah cara pandang: merasa bahwa penderitaan saudara kita adalah urusan kita juga. Itulah ciri iman yang hidup.
Menjaga Diri dari Libur yang “Mengikis”
Ada bahaya yang sering tidak terasa saat libur: waktu panjang tanpa arah. Remaja yang tidak punya tujuan mudah terjebak pada hal-hal yang mengikis iman dan adab: konten tidak pantas, pergaulan yang melonggarkan batas, dan gaya hidup yang membuat hati keras. IRMA harus jadi benteng: bukan sok suci, tetapi sadar diri dan menjaga kehormatan.
Cara paling realistis untuk menghindari itu adalah membuat jadwal libur sederhana: ada waktu ibadah, waktu keluarga, waktu belajar, waktu olahraga, dan waktu istirahat. Seimbang, tetapi terarah. Libur yang baik bukan yang paling ramai, melainkan yang paling membawa kita semakin dekat dengan Allah dan semakin bermanfaat bagi orang lain.
Penutup: Jadilah Pelajar yang Pulang dengan Nilai Tambahan
Akhirnya, libur akhir tahun seharusnya membuat kita “pulang” dengan sesuatu: pulang dengan iman yang lebih kuat, akhlak yang lebih matang, ilmu yang bertambah, dan kepedulian yang lebih nyata. Jadikan bencana di Sumatra sebagai pengingat bahwa hidup ini rapuh, dan hanya amal baik yang akan benar-benar menetap.
Mari jadikan libur akhir tahun sebagai momentum kebangkitan kader IRMA: lebih disiplin, lebih peduli, lebih berisi. Semoga Allah menjaga kita dari kelalaian, menguatkan kita dalam kebaikan, dan menerima setiap amal kecil yang kita niatkan karena-Nya.

