Oleh: Siti Toyibah
Keberagaman dalam hidup merupakan sebuah keniscayaan. Keberadaannya tidak dapat dipungkiri ada di semua negara termasuk Indonesia, yang secara nyata ditakdirkan menjadi bangsa yang terdiri dari berbagai suku, adat istiadat, budaya, sumber daya alam, dan agama. Dengan keragaman tersebut, Indonesia dijuluki dengan beberapa sebutan, antara lain negara paru-paru dunia, negara surga dunia, negara megabiodiversitas, dan negara Bhinneka Tunggal Ika yang semboyannya, meski berbeda tetap satu jua. Namun di sisi lain, mengelola kebhinekaan di negara kita bukanlah perkara mudah, karena potensi perpecahan dan konflik kebhinekaan, khususnya di bidang agama, menjadi bayang-bayang hitam yang menghantui sendi-sendi persatuan.
Mengutip pada sebuah Jurnal Kajian Ilmu dan Pengembangan Budaya Al-Qur’an Vol. 21 No. 02 (2021) karya Abdul Aziz yang berjudul Religious Moderation in the Qur’an Perspective (A Contextual Interpretation in Indonesia). Pada jurnal tersebut penulis menemukan sebuah kesimpulan bahwa walapun Indonesia dijuluki sebagai negara yang Bhenika Tunggal Ika, tetapi konflik atas nama agama masih saja sering terjadi. Misalnya, ketika Indonesia harus menghadapi virus Covid-19 yang mematikan, ternyata bangsa kita juga harus melawan virus yang tidak kalah berbahayanya, yaitu virus kebencian, intoleransi, sektarianisme, dan radikalisme.
Sejak pemerintah mendeklarasikan pandemi pada Maret 2020, terjadi serangkaian diskriminasi terhadap pemeluk agama yang berbeda. Diantaranya adalah adanya desakan suatu kelompok kepada Bupati Bogor untuk melarang Ahmadiyah berada di tempat itu (16 Maret 2020), selain itu terjadi penyegelan Masjid di Kampung Badakpaeh, Tasikmalaya (6 April 2020) dan penutupan masjid di Ciawi, Garut (6 Mei 2021). Hal ini belum termasuk penyebaran stigma buruk terhadap etnis dan agama Tionghoa karena dianggap menjadi cikal bakal pembawa virus Covid-19 ke Indonesia.
Penulis menduga, jika penyebaran stigma buruk tersebut terus membudaya maka tidak perlu heran ketika terjadi pertikaian, perseteruan, permusuhan antar kelompok satu dengan kelompok yang lain, peperangan antar agama yang satu dengan agama yang lain, bahkan terjadi pertumpahan darah satu sama lain. Oleh karena itu sebagai insan beragama, perlu kita pahami bahwa kejadian ini merupakan tanggung jawab bersama. Sebagai insan pendidikan, perlu kita sadari bahwa pendidikan sangat berperan aktif dalam mencari solusi untuk memecahkan masalah tersebut.
Kaitannya dengan hal tersebut, agama memberikan solusi kepada setiap manusia melalui ayat-ayatnya yang Indah, salah satunya tertuang dalam QS. Al Baqarah ayat 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Alqur’anul Adzim Jilid 1 Halaman 287 menjelaskan Asbabun nuzul ayat tersebut relevan dengan ayat sebelumnya yaitu tentang pemindahan kiblat kaum muslimin dari Baitul maqdis ke arah Ka’bah. Ayat ini diturunkan Allah untuk mempertegas posisi kaum muslimin sebagai umat yang moderat (ummatan wasathon).
Syekh Wahbah al-Zuhayli dalam tafsir Al Munir Jilid 1 Halaman 272 menjelaskan kata Al-Wasath yang terdapat pada ayat ini artinya pertengahan atau poros lingkaran. Kemudian kata ini dipakai untuk menyatakan hal-hal yang terpuji, sebab setiap sifat yang terpuji adalah titik tengah antara dua ujung. Al-wasath di sini maknanya yaitu orang-orang yang berperangai baik yang menggabungkan antara ilmu dan amal kemudian berkembang menjadi adil dan seimbang. Sehingga dalam konteks beragama dari akar kata ini berkembanglah konsep umatan washaton.
Umatan washaton berarti umat yang berada di tengah, tidak bergelut pada aspek rohani saja, juga tidak terhanyut pada paham materialisme saja, tapi umatan wasaton adalah umat yang bermoderasi, bertoleransi, dan memadukan aspek rohani dan jasmani sehingga mampu menciptakan keharmonisan dan perdamaian. Adapun langkah mendasar yang dapat kita lakukan sebagai insan pendidikan untuk menumbuhkan sikap moderasi beragama adalah dengan merenungkan firman Allah dalam surah QS. Al An’am ayat 108:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ فَيَسُبُّوا اللّٰهَ عَدْوًاۢ بِغَيْرِ عِلْمٍۗ كَذٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ اُمَّةٍ عَمَلَهُمْۖ ثُمَّ اِلٰى رَبِّهِمْ مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Janganlah kamu memaki (sesembahan) yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa (dasar) pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan.
Secara kontekstual, ayat ini merupakan landasan etis bagi penduduk muslim Indonesia dalam mewujudkan kerukunan di tengah-tengah keanekaragaman. Sedangkan secara tekstual, Prof Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam tafsir Al Misbah Jilid 4 halaman 242 menjelaskan bahwa ayat ini merupakan sebuah perintah dan petunjuk dari allah kepada Nabi saw. sebagai pemimpin umat untuk membimbing kaum muslimin agar berhati hati dalam berkata, dan agar kaum muslim memelihara lidah serta tingkah lakunya. Ayat ini melarang kita untuk memaki kepercayaan kaum non muslim, karena makian tidak menghasilkan sesuatu menyangkut kemaslahatan agama, melainkan dengan makian hanya akan menimbulkan kemudhorotan.
Salah satu kaidah Ushul Fiqh menjelaskan:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
Menolak kemudaratan lebih baik dari pada menjalankan kemashlahatan
Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Washatiyah: Wawasan Islam tentang Moderasi Beragama, beliau menjelaskan ada tiga cara agar moderasi beragama terlaksana, pertama adanya pengetahuan dalam diri kita; kedua adanya kemampuan mengendalikan emosi dan nafsu belaka; ketiga memiliki kehati-hatian dalam beragama. Jadi bukan ajaran agama yang dimoderasi tetapi cara beragama kita yang harus mendapatkan sentuhan moderasi.
Relevansi penjelasan ayat diatas dengan kehidupan bangsa Indonesia di tahun 2022 ini, terbukti pada perhelatan The 21Th Annual International Conference On Islamic Studies (AICIS XXI) yang dilaksanakan pada tanggal 1-4 November 2022 lalu. Tagline “Future Religion in G20” (moderasi beragama) digaungkan Kementerian Agama, sebagai tema besar forum tersebut seiring dari ditunjuknya Indonesia sebagai presidensi G20. Isu utama yang dibahas dalam tema AICIS 2022 yaitu: “Digital Transformation, Knowledge Management, and Social Resilience” dengan beberapa sub tema lainnya. Tema dan isu utama tersebut merespon perkembangan terkini dikursus dan tuntutan kajian keIslaman kontemporer di tingkat nasional dan global. Diskusi-diskusi di dalamnya diharapkan dapat menempatkan kajian keIslaman di Indonesia dalam diskursus global.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa perbedaan dan keragaman beragama merupakan fitroh sekaligus rohmat dari Allah bagi negara Indonesia. Sebagai insan beragama, kita jadikan moderasi beragama sebagai bukti nyata merawat Indonesia dengan sepenuh jiwa. Sebagai insan pembelajar, kita jadikan pendidikan menjadi media untuk menciptakan kerukunan dengan senantiasa belajar dan mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan saling menghargai satu sama lain. Semoga Allah Swt tetap memberkati. Aaamiin.