Oleh: Rifa Anggyana, S.Pd., M.M. (Ketua Pembina IRMA Jawa Barat)
Di masa para kakek kita, tersibak cerita kalau di desa hampir tidak ada rumah-rumah yang dipagar. Seolah tidak ada batas antara satu rumah dengan rumah lainnya. Namun, beda halnya dengan pemandangan di kota, sebagian besar rumah-rumah sudah memiliki pagar untuk saling membatasi satu pekarangan rumah dengan pekarangan lainnya.
Dari sini secara sekilas sudah nampak netapa kehidupan di kota lebih individualistis ketimbang di desa. Walaupun fungsi utama dari pagar adalah sebagai pelindung, namun kebanyakan pemiliknya justru bermaksud membatasi diri terhadap lingkungan sosialnya.
Di era sekarang, ketika perekonomian negeri membaik dan pemerataan pembangunan mulai menampakkan hasilnya, pagar-pagar pun bermunculan di desa seiring dengan pertumbuhan kesejahteraan masyarakatnya. Hari ini sebagian besar rumah-rumah sekalipun di desa sudah berpagar. Dan, sebagaimana keadaan di kota, perilaku individualistis mulai terlihat di desa. Bahkan, memamerkan harta kekayaan juga dilakukan tanpa rasa sungkan. Malahan, orang yang tidak berpunya pun malah ikut bergaya bagai orang kaya. Kata orang Betawi: “biar tekor asal kesohor!
Fenomena tersebut akhirnya juga diikuti oleh meningkatnya angka kriminalitas sampai ke daerah-daerah. Cerita tentang berbagai tindak kejahatan hingga perilaku asusila yang dulu sama sekali tidak terdengar di zaman para kakek kita, kini nyaris menjadi kisah keseharian yang menyebar bukan hanya di perkotaan.
Berbicara tentang dinamika masyarakat dalam perspektif modern yang cenderung sekuler, baik menyangkut aspek hukum, politik, social, budaya, serta keamanan, hampir selalu dikaitkan dengan pembahasan ekonomi. Dengan sendirinya, hal ini turut membuktikan bahwa masalah ekonomi merupakan persoalan inti dalam kehidupan masyarakat yang menyentuh hingga tingkat global.
Di dalam Islam, sebagai risalah agama yang di masa-masa kesultanan pernah melekat dan menjiwai selurih aspek kehidupan, telah diatur sedemikian rinci berbagai konsep tentang pengembangan ekonomi yang berjalan melalui pengaliran harta kekayaan baik dengan jalan zakat, infaq, dan shodaqoh, hingga tijarah (perdagangan), qiradh (koperasi), serta khoraj (pajak). Kesemuanya menunjukkan bahwa ajaran dalam Islam menawarkan bermacam aspek dari sisi perekonomian baik dalam sifat sosialis maupun kapitalis guna menghasilkan kesejahteraan bersama.
Dalam Islam, zakat merupakan satu ibadah amaliyah yang mendapat perhatian besar. Ajaran tentang zakat, selain terdapat dalam al-Qur’an, juga terurai di dalam hadis yang memberikan panduan lebih terperinci.
Dalam hadits Nabi SAW disebut berbagai macam zakat, batasan-batasan berzakat, masa pengeluarannya, juga hikmah mengeluarkan zakat. Dalam zakat, secara tegas Al Qur’an menyatakan agar harta tidak bergulir di antara sesama kaum kaya saja.
Kesadaran kaum muslim untuk menunaikan zakat adalah sesuatu yang wajib, sebab zakat juga menjadi rukun di dalam rukun Islam. Jangan sampai ada muslim yang meski sudah sangat kaya masih enggan menunaikan zakat dikarenakan takut kalau hartanya akan berkurang. Padahal, di balik syari’at zakat terdapat faedah dan hikmah yang begitu besar, yang dapat dirasakan oleh individu maupun masyarakat.
Secara sosial, zakat ataupun sedekah dapat memadamkan kemarahan orang miskin. Terkadang orang miskin menjadi marah karena melihat orang kaya hidup bermewah-mewah. Sebab, di sekelilingnya terdapat orang-orang atau keluarga yang masih hidup serba kekurangan dan membutuhkan pertolongan. Akan tetapi, dengan mengetahui di sekitarnya ada orang yang hidup dalam kesusahan lalu terdapat hartawan yang turun memberikan bantuan, maka akan muncul rasa cinta dan kerelaan untuk saling menjaga sesudah di antara mereka saling mengenal.
Hal tersebut, dengan sendirinya juga dapat menghalangi berbagai bentuk pencurian, pengrusakan, penjarahan, dan perampasan. Karena, dengan zakat, sebagian kebutuhan orang yang hidupnya dalam kemiskinan menjadi terbantu, selain tentunya juga mengangkat harkat dari si miskin sebab merasa dipedulikan sebagai manusia.
Syekh Nawawi Al Bantani, dalam kitabnya Tanqih al-Qaul al-Hatsits, mengutip hadits Nabi Muhammas SAW:
حَصِّنُوا أَمْوَالَكُمْ بِالزَّكَاةِ وَدَاوَوْا مَرْضَاكُمْ بِالصَّدَقَةِ وَأَعِدُّوْا لِلْبَلَاءِ الدُّعَاءَ
“Jagalah harta benda kalian dengan zakat, obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah dan siapkan doa untuk musibah.” (HR Thabrani, Abu Nuaim, dan Khatib).
Syekh Nawawi juga menjelaskan maksud dari hadits tersebut. Menurutnya, hadits itu menjelaskan bahwa dengan mengeluarkan zakat tidak ada harta benda yang hancur, baik di darat maupun di laut, kecuali karena tidak dizakati.
“Obatilah orang sakit dengan sedekah, sebab sedekah lebih manjur daripada obat lahir. Berdoalah ketika terjadi musibah, karena doa akan menyirnakannya”, jelas Syekh Nawawi Al Bantani.
Menurut Syekh Nawawi, dalam hadits lain, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda:
مَا تَلَفَ مَالٌ فِي بَرٍّ وَلا بَحْرٍ إِلا بِمَنْعِ الزَّكَاةِ
“Tidak ada harta benda binasa di darat dan di laut, kecuali enggan berzakat.”
Kita diajari oleh guru dan para kiai agar mengekalkan manfaat harta di dunia untuk di akhirat nanti melalui sedekah dan zakat. Zakat ini hanya dilakukan oleh orang-orang mukmin. Sedangkan orang munafik tidak akan mau membayar zakat, sebab mereka tidak pernah meyakininya.

