Ilmu Melekat Karena Keikhlasan

Ilmu Melekat Karena Keikhlasan

Oleh: Rifa Anggyana

Ta’limuna yalsya, pengajaran kami melengket [karena keikhlasan].” begitu tulis Prof. Quraish mengenang gurunya yang wafat pada 1962. Hubungannya dengan al-Habib Abdul Qadir bahkan diakuinya terasa masih terjalin terus- menerus.

Bukan saja dengan doa yang tentu senantiasa dipanjatkan —hampir—setiap selesai salat atau setiap melintas di pekuburan dekat rumahnya. Tetapi, juga dengan “kehadiran” tatkala Prof. Quraish Shihab merasakan suatu keresahan atau kesulitan.

Malahan, dikatakannya bahwa masa sekitar dua tahun dalam asuhan Habib sungguh lebih berarti daripada belasan tahun masa studi di Mesir. Sebab beliaulah yang meletakkan dasar dan mewarnai kecenderungan penulis.” l

Perasaan seorang Prof. Quraish terhadap gurunya ditumpahkan dalam kata pengantar di buku karyanya, “Logika Agama” (Lentera Hati: 2017).

Di masa lalu, Hadratussyekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, seringkali mengisahkan keteladanan Syekh Nawawi al-Bantani, gurunya saat belajar di Makkah. Seringkali pendiri NU ini tidak mampu menahan tangis kerinduan saat menceritakan kealiman dan karakter pribadi gurunya tersebut.

Demikian mulianya kedudukan seorang guru, dalam salah satu karyanya, “Adab al-Alim wa al-Muta’allim“, Kiai Hasyim Asy’ari mencatat 12 etika dasar seorang murid kepada gurunya. Selain berisi etika prinsipil saat mencari dan menemukan seorang guru yang tepat, beliau juga menyertakan etika dasar relasi personal murid-guru, serta etika di bidang transmisi keilmuan. Tak kalah berat, Kiai Hasyim juga mensyaratkan dua puluh etika yang harus dimiliki seorang guru untuk dirinya sendiri agar benar-benar menjadi seorang pendidik yang mumpuni dan berhasil bukan hanya di dunia, melainkan juga di akhirat.

Para pemahat jiwa. Demikian seorang bernama Rizal Mummaziq menuliskan artikel perihal pengaruh amat besar  yang “ditularkan” guru kepada muridnya. Ia mengembalikan ingatan haru para murid terhadap guru-guru mereka.

M. Hasyim Asy’ari banyak dipengaruhi oleh Syekh Nawawi al-Bantani, KH. A. Dahlan banyak dipengaruhi oleh Syekh Khatib al-Minangkabawi. Di wilayah lain, sebagaimana dituliskan dalam berbagai kolomnya, Gus Dur banyak dipengaruhi oleh KH. A. Wahid Hasyim (ayahnya), KH. Abdul Fattah Hasyim (pamannya), dan KH. Khudlori, Magelang; dan KH. Ali Maksum Krapyak, Yogyakarta, tempatnya berguru di era 1950-an. Gus Mus dibentuk karakternya oleh KH. Marzuqi Dahlan dan KH. Mahrus Aly, Lirboyo; serta KH. Ali Maksum, Krapyak. Sedangkan KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudh banyak dipengaruhi karakter pamannya, KH. Abdullah Salam dan gurunya, KH. Zubair Dahlan, ayahanda KH. Maimoen Zubair, Sarang. Mereka saling terkoneksi dalam wilayah inteketual dan ruhaniah yang terus bersambung. Pola pikir dan karakter gurunya akan menular kepada si murid, bahkan dalam hal remeh temeh, misalnya tentang kesukaan.

Sebuah ceramah yang pernah disampaikan KH. Zuhrul Anam Hisyam menyebutkan bahwa ilmu yang diwariskan dari Nabi SAW itu ada dua. Pertama adalah ilmun fil auraq alias ilmu syariah yang tertuang dalam lembaran kertas yang dapat diperoleh dengan cara belajar dan mengaji, at-Ta’allum wa Ad-Dirasah. Tanpa mengaji, ilmu tidak akan diperoleh. Yang kedua, ilmun fil adzwaq (ilmu rasa, rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, zuhud, dan seterusnya) yang dapat diperoleh dengan bersahabat dengan orang-orang saleh, as-suluk wa as-suhbah.

Orang saleh yang memiliki keterkaitan spiritual dengan gurunya, gurunya dengan gurunya, terus bersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karena itu, as-suhbah (persahabatan) memberikan dampak kepada perilaku murid (turitsul hal). Kalau gurunya keras, muridnya juga demikian. Kalau gurunya santun dan lembut, muridnya juga begitu. Kalau pendidiknya sabar, para muridnya juga akan sabar. Dalam konsep edukatif, mereka adalah murabbi, sang pendidik; dalam konsep yang religius, mereka adalah pengarah alias mursyid.

Akan tetapi, bertolak belakang dengan yang dituliskan oleh Rizal itu, kenapa makin hari sosok guru terlihat malah semakin redup. Mengapa bukan sosok guru yang dipromosikan oleh lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolahan ketika berusaha menarik minat calon murid?

Kenapa sosok guru sebagai faktor yang teramat penting itu nampak kalah menonjol dibanding dengan fasilitas seperti misalnya gedung atau ruangan ber-AC? Dari sekian brosur-brosur ya g beredar dipromosikan, adakah sosok para guru menjadi konten promo yang dikedepankan? Apakah, karena murid-murid sekarang menilai fasilitas lembaga lebih penting ketimbang guru?

 

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: