Mengimani Rasulullah Seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq

Mengimani Rasulullah Seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq

Oleh: Rifa Anggyana/Pembina IRMA Jawa Barat

Allah SWT adalah Mukhalafatu lil hawaditsi, Qodim, Al Awwalu, Al Akhiru. Allah ‘Azza wa Jalla sama sekali tidak terikat oleh ruang dan waktu. Bahkan, ruang dan waktu tidak lain hanyalah ciptaan-Nya.

Sebuah peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad adalah perjalanan malam atau Isra’ serta melakukan Mi’raj menuju Sidratil-Muntaha, menghadap Allah SWT, Tuhan bagi semesta alam. Dan, orang pertama yang mempercayai Nabi Muhammad melakukan Isra’ dan Mi’raj adalah Abu Bakar.

Kesadaran beriman pada diri Abu Bakar telah mencapai ketinggian yang luar biasa, sebagaimana terlihat dalam sikapnya atas peristiwa yang dialami oleh Nabi SAW tersebut. Abu Bakar memantapkan syahadatnya dengan mengimani apa pun yang dituturkan oleh Rasulullah SAW. Yang dengan begitu pula, Abu Bakar pun membenarkan atau mengimani kekuasaan dan kebasaran Allah SWT yang tidak terbatas.

Para ulama tauhid telah membahas sifat mukhalafatu lil hawaditsi yang disandang oleh Allah SWT untuk menerangkan tengang kesucian dan keistimewaan Tuhan dari segala kekurangan yang ada pada makhluk-Nya. Yang dengan begitu, bukan saja atas Isra Mi’raj, tetapi juga terhadap semua ajaran dan peringatan yang diberikan oleh Rasulullah SAW meskipun berada di luar jangkauan nalar manusia juga diimani sebagai sesuatu yang benar-benar terjadi seperti pula adanya kiamat dan akhirat.

Sejak pertama dan setiap kali Nabi Muhammad SAW menyampaikan berita tentang Isra’-Mi’raj, Abu Bakar menanggapinya dengan ucapan shadaqta (Anda benar –wahai Rasul). Oleh karena itu, tingginya penghayatan kesadaran iman (kepercayaan) Abu Bakar inipun diabadikan dengan gelar Ash-Shiddiq yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Itulah kesadaran iman Sahabat Nabi yang bernama asli Abdullah bin Abu Quhafah.

Tentang bagaimana bisa sampai terjadi Nabi Muhammad SAW melakukan Isra’ dan Mi’raj, adalah termasuk wilayah yang dikehendaki Allah (masyi’atullah) sehingga tentulah terjadi. Dalam Isra’-Mi’raj-nya, dengan kehendak Allah SWT, Rasulullah SAW yang seorang mahluk terbebas dari belenggu dimensi ruang-waktu dimana Allah mengizinkan perjalanan yang mustahil dilakukan oleh manusia.

Maha suci Dia (Allah) yang memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) di suatu malam, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang Kami berkati sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha mendengar dan Maha melihat (QS al-Isra’/17: 1)

 

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: