MERESPON BENCANA DAN MEMAKNAI TAKDIR LEWAT CARA PANDANG UMAR BIN KHATTAB

MERESPON BENCANA DAN MEMAKNAI TAKDIR LEWAT CARA PANDANG UMAR BIN KHATTAB

Oleh : Dzikri. Ashiddiq. Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu Wata’ala, Sumatera berduka. Dalam diinginnya hujan dan air mata. Rumah-rumah tenggelam dan puluhan kabupaten terputus dari bantuan. Jalanan rusak, sekolah dan pondok pesantren rusak dan ribuan orang mengungsi.

Di saat-saat seperti ini, selalu ada orang yang akhirnya hanya mensimplifikasi kejadian ini sebagai takdir yang harus dipasrahi tanpa dievaluasi. Ini sudah suratan takdir, ini di luar kemampuan kita. Salah hujannya, bukan salah manusianya.

Takdir Allah, memang benar. Namun pemahaman bahwa sebuah takdir terjadi tanpa ada sebab-sebab yang membuatnya terjadi adalah cacat dalam berpikir. Syaikh Muhammad Ghazali menyampaikan lugas, bahwa di antara cacat dalam berpikir adalah terlalu melihat kemenangan atau musibah, namun tidak melihat apa yang melatari kemenangan atau menyebabkan musibah.

Di titik inilah kita akan menjelajahi waktu dan bertemu dengan sosok khalifah jenius itu, yaitu Umar bin Khattab namanya. Beliau memimpin umat 10 tahun lamanya, lengkap dengan kemenangan serta ujian-ujian yang dihadapinya. Salah satu hari duka itu adalah wabah Tha’un Amwas yang melanda Syam. Saat itu Khalifah Umar bin Khattab memilih untuk tidak mendekati pusat wabah. Membaca situasi itu, Abu Ubaidah bin Jarrah berkata pada Khalifah Umar bin Khattab, Apakah engkau lari dari takdir Allah ?

Mari perhatikan bagaimana Umar bin Khattab mengajari kita memaknai dan mengilmui takdir. Umar menjawab Abu Ubaidah, Ya, kami lari dari takdir Allah menuju takdir Allah yang lain. Dan, setelahnya Umar berkata pada Abu Ubaidah. Mari perhatikan apa kata beliau, Bagaimana pendapatmu, wahai Abu Ubaidah, seandainya engkau memiliki unta, lalu engkau turun ke suatu lembah yang memiliki dua sisi : satu subur dan satu lagi gersang. Bukankah jika engkau menggembala di yang subur, itu dengan takdir Allah, dan jika engkau menggembala di yang gersang, itu juga dengan takdir Allah. (HR. Bukhari Muslim).

Apa yang bisa kita pelajari dari cara pandang Umar bin Khattab tersebut ? Maksud Umar jelas : takdir Allah bukan alasan untuk pasrah ketika kita masih punya pilihan untuk berpindah dari tempat berbahaya ke tempat yang lebih aman. Takdir itu berjalan bersamaan dengan sebab-akibat yang kita ikhtiarkan pula. Banjir dan longsor di Sumatera bukan datang tiba-tiba dari langit tanpa sebab. Ia adalah takdir yang dimukadimahi dari rangkaian sebab yang dilakukan perusak alam bertahun-tahun.

Hutan yang terus ditebang di hulu demi kebun sawit atau tambang. Izin-izin bangunan di bantaran sungai dan lereng curam yang dibiarkan. Analisis risiko banjir yang diabaikan demi proyek cepat selesai. Kebijakan-kebijakan para pemangku kekuasaan yang tidak menjaga keseimbangan alam, akhirnya mengorbankan masyarakat. Semua itu, jika kita lihat dengan cara pandang Umar bin Khattab, adalah lembah gersang yang dipilih oleh mereka-mereka dan mungkin kita yang sebenarnya bisa mengubah keadaan tapi malah abai.

Tepat ulasan objektif yang disampaikan oleh Pak Anies Baswedan, badai, hujan lebat, gunung meletus, adalah peristiwa alam yang telah berlangsung jutaan tahun. Namun, kita memperparah dan mengubahnya menjadi bencana ketika kita memperlakukan alam tanpa etika. Tata ruang dilanggar, hutan ditebang habis, pesisir dicemari, habitat satwa dihancurkan. Maka, apa yang terjadi sekarang adalah hasil langsung dari lembah gersang yang dipilih, dengan sengaja.

Pemaknaan takdir yang dijelaskan Umar bin Khattab inilah yang menjernihkan sudut pandang kita. Dan inilah ajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghadapinya : berusaha sebaik mungkin memperbaiki keadaan. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menasihati, Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang bermanfaat bagimu. Mintalah pertolongan kepada Allah dan jangan lemah.

Pada sebuah keadaan tidak baik-baik saja, seorang muslim yang berusaha mengubah keadaan ternyata dicintai Allah. Ia melakukan yang bisa, namun ia percaya penuh bahwa keberhasilan ada di tangan Allah, bukan pada mengandalkan usahanya.

Dan moga Allah mengarahkan mata pedang pemegang kebijakan pada mereka segelintir orang yang mengorbankan rakyat demi ego dan kekayaan pribadi mereka memporak-porandakan alam dan menghancurkan keseimbangan alam ini.

Jadilah kita generasi baru yang memahami bahwa seorang muslim adalah pewaris bumi, untuk dijaga dan dirawat sebagai rumah bagi umat manusia serta makhluk lainnya yang Allah ciptakan di muka bumi ini.

Akhirul kalam, Pray For Sumatera. Aceh, Sibolga, Padang dan daerah terdampak lainnya. Moga Allah jaga saudara kita, memberi afiyah, kesabaran, keteguhan dan keselamatan.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: