Pelajar Islam Mengambil Peran Mempertahankan Kemerdekaan

Pelajar Islam Mengambil Peran Mempertahankan Kemerdekaan

Dari negeri kangguru Australia, seorang Indonesianis yang menulis buku A History of Modern Indonesia Since c.1200, Prof. Merle Calvin Ricklefs, Ph.D, menyebut bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari proses pembentukan Indonesia sebagai republik. Buku Ricklefs telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Sejarah Indonesia Modern: 1200-2004.

Sebagai sejarawan kontemporer ia dipandang memiliki otoritas dalam sejarah di Indonesia, terutama tentang Jawa pada periode abad 17 hingga 20. Menurutnya, era “Indonesia modern” dimulai sejak kedatangan Islam.

Ia memberikan penggambaran tentang warna Islam dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs menyebut bahwa Islam sebagai agama telah merangsang terbentuknya kesatuan suku-suku Nusantara menjadi “kesatuan sejarah yang padu” (a coherent historical unit).

Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam telah menjadi simbol identitas pribumi dan pembangkit daya juang, seperti juga pernah ditegaskan Prof. Dr. George McTurnan Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952), serta Prof. Dr. Harry Jundrich Benda (The Crescent and the Rising Sun, 1958).

Adanya perlawanan dari orang-orang Islam kepada Belnada sejak masa kompeni hingga kolonial pada akhirnya memberikan Belanda sebuah pelajaran penting. Snouck Hurgonje bahkan menasehati Belanda agar tidak menggangu simbol-simbol keagamaan Islam. Bahkan, untuk Aceh, Snouck secara keras mengingatkan Belanda agar menjauhkan hubungan antara ulama dengan uleebalang, yakni antara kaum ulama dengan kaum adat di pemerintahan.

Ketika Indonesia memasuki era kemerdekaan pun, selain Resolusi Jihad Kiai Hasyim Asyari dan fatwa jihad dari ulama-ulama Aceh untuk mensukung Republik Indonesia, pelajar-pelajar Islam di luar negeri juga memberikan peran diplomatik yang berpengaruh. Negara-negara di Timur Tengah menerima ajuan pelajar-pelajar Indonesia di sana untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka.

Jenderal Abdul Haris Nasution, yang turut memuji perjuangan Ismail Banda di luar negeri dalam rangka merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Proklamasi, Jenderal Nasution mengungkap bahwa Ismail Banda bersama para pelajar dan masyarakat Indonesia lain terus berusaha mewujudkan persatuan di kalangan pelajar dan masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri. Nasution menyebut bahwa Muhammad Zein Hassan dan Ismail Banda, dua orang tokoh yang terkenal, selalu berunding dan mencari jalan untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Timur Tengah. Ia bahkan menjadi penghubung pemerintah Indonesia dengan pemerintah Mesir dan kekuatan sosial politik yang ada di sana terutama Ikhwanul Muslimin (Nasution, 1977: 163-168). Sedangankan perihal perjuangan pelajar di Mesir, oleh Ismail Banda sendiri pernah disampaikan makalah ketika di Yogyakarta dengan judul “Pengakoean Mesir dan Arab League” (Sitompul, 1986).

Selain Jendral Nasution, Abubakar Aceh (1957) secara terbuka juga menyebutkan bahwa Ismail Banda dalam misi haji pertamanya bertugas sebagai Sekertaris I. Abubakar Aceh memuji Ismail Banda sebagai orang yang mempunyai kecerdasan dengan mengatakan bahwa tugas tim ini adalah “menjelaskan kepada dunia Islam (tentang) politik pemerintahan RI dewasa itu serta mempropagandakan perjuangan rakyat bangsa Indonesia baik selama di Makkah maupun selama perjalanan pulang pergi…” (214, 650). Juga, secara khusus Ismail Banda atas kapabilitas dan kompetensi berbahasa Arabnya ditugaskan melalui pers Arab untuk mengenalkan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonial Belanda. Kehadiran misi haji pertama ini mendapatkan simpati dari negara-negara Islam yang akhirnya turut memperkukuh pengakuan kedaulatan Republik Indonesia (Kementerian Agama, 1996: 28)

Pada tanggal 26 September 1948, Ismail Banda masuk di dalam jajaran tim misi haji pertama. Misi haji ini diadakan untuk menghadang propaganda Belanda yang terus meningkat di Saudi Arabia, dimana Belanda juga mengirimkan berbagai misi diplomatik dan misi agama (haji). Oleh karena itu, untuk melawan propaganda tersebut, pemerintah Republik Indonesia mengirimkan tim misi haji pertama dengan mengutus KH. Moh. Adnan, Ismail Banda, Saleh Suady TH, dan Syamsir St. R. Ameh (Hassan, 1980: 263).

Oleh karenanya, di masa pergulatan mempertahankan kemerdekaan atas nama Republik, peran pelajar merasuk ke semua aspek perjuangan. Selain menggabungkan diri ke dalam ketentaraan, para pelajar juga turut memainkan peran diplomatik yang terbilang rumit. Dan, menurut Islamijah Journal of Islamic Social Science, kiprah mereka terbilang amat penting dalam mendukung diplomasi yang dijalankan oleh senior-seniornya.

Rifa Anggyana, dari berbagai sumber.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: