Tepat Dua Tahun Thufan Al-Aqsha

Tepat Dua Tahun Thufan Al-Aqsha

Oleh: Dzikri Ashiddiq

Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu Wata’ala, sudah tepat 2 tahun Thufan Al-Aqsha, memenuhi alam pikiran dan alam kehidupan nyata kita. Banyak di antara kita mengalami disonansi kognitif, saat memutuskan hidup harus tetap berjalan tapi tidak sampai hati melihat Ghazzah dibantai dan anak-anaknya hidup tanpa bahan makanan yang cukup.

Ada banyak hal baru sejak 7 Oktober itu : yang akhirnya tahu bahwa yang terjadi adalah penjajahan, yang akhirnya mulai berlatih menyingkirkan produk penjajah dari meja makan dan perlengkapan kebutuhan sehari-hari lainnya.

Ada gebyar kesadaran sejak Thufan Al-Aqsha, yang telah mengubah hidup kita selama-lamanya. Kau sadar itu kawan ? yang suka film Marvel rela tidak menonton demi menjaga komitmen. Artis seperti Gal Gadot dibuat hancur imagenya karena mendukung penjajahan. Gerai-gerai pendukung pembantaian satu persatu mengalami rugi besar. Betul kata Ahmad Mansur, Jurnalis senior Al-Jazeera, dunia sebelum 7 Oktober berbeda dengan dunia setelahnya.

Sang Arsitek Thufan Al-Aqsha, Bapak Yahyasinwr pernah mengatakan, Kota ini, Ghazzah akan membongkar semua para pelaku normalisasi, akan mempermalukan semua penyusun makar, dan akan menyingkap hakikat semua yang lalai dan mengalah.

Dan, benar. Ini terjadi bahkan setelah beliau meraih kesyahidannya, dengan cara yang amat legendaris, duduk di sofa berdebu, membawa tongkat, berjuang sampai akhir meski darah mengalir deras. Dan beliau menjadi ikon kepahlawanan seperti Joan of Arc bagi Prancis atau Omar Mohtar bagi Libya.

Thufan Al-Aqsha, di peringatan 2 tahunnya, ditandai dengan gelombang kehebatan justru dari arah barat, 490 lebih aktivis sedunia yang berlayar dari negeri-negeri legendaris menuju Ghazzah. Greta Thunberg meneruskan panji Anas Sharif.

Dan selamat datang pula di sebuah zaman dimana menjadi seorang zion adalah sebuah kehinaan. Tidak diterima.  Tidak punya tempat. Tidak bisa bersosialisasi. Tidak dapat lagi membuat arus tandingan. Semuanya yang musuh miliki telah usang, dan kemerdekaan Palestina tinggallah masalah waktu.

Meski begitu, ini juga adalah kisah tentang umat 2 miliar yang masih belum sepenuhnya maksimal dalam memperjuangkan kebebasan Masjidil Aqsha dan kemerdekaan bagi Palestina. Genderang telah ditabuh sementara umat Islam ini masih menguap dan bercuap-cuap. Hadits tentang Al-Wahn  yaitu cinta dunia dan takut mati berlaku atas kita : saat jumlah begitu banyak, namun seperti riuh buih yang terombang-ambing.

Ternyata, 2 tahun ini belum cukup buat kita untuk benar-benar menang. Namun aku suka kata Dr Yasir Zaatreh, bahwa Thufan Al-Aqsha adalah bidayatun Nashr awal kemenangan bagi kita, jika kita mampu merawat ruhnya.

Ia juga bidayatun nihayah yaitu awal dari sebuah akhir bagi penjajahan dan zion. Mereka tahu bahwa dunia tidak lagi mengharapkannya, apalagi jika Milenial dan Gen Z sudah pegang kendali kepemimpinan nasional di banyak negara.

Yang membela mereka sudah pada tua. Yang muda-muda, seperti kata survei Harvard, mendukung perjuangan dan tidak seirama lagi dengan kebohongan penjajah. Semua ini, ada dalam genggaman Allah, dan Dia adalah yang paling hebat makarnya, paling Maha cerdas pengaturannya dan tidak pernah meleset. Tidak pernah gagal. Thufan Al-Aqsha, adalah takdir yang luar biasa.

Sumber : Thufan Al-Aqsha wa Mubassyirat An-Nashr, Muhammad Futouh Ahmad. Thufan Al-Aqsha, Fight for Freedom, Ustadz Amar Risalah, Al-Jazeera Arabiyyah. Shehab News Agency.                        

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: