Tradisi Saling Memaafkan dan Berbagi Rezeki di Hari Lebaran Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Tradisi Saling Memaafkan dan Berbagi Rezeki di Hari Lebaran Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadits

Oleh: Dzikri Ashiddiq

Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala, pada saat hari raya Idul Fitri (lebaran) di Indonesia memiliki beberapa tradisi di antaranya saling meminta maaf kepada sesama kaum muslimin dan berbagi rezeki baik dalam bentuk uang ataupun lainnya yang diberikan kepada kerabat, maupun kepada para tetangga serta kepada kaum muslimin

Tradisi ini digagas dan dilestarikan oleh para ulama karena memiliki nilai-nilai kebaikan dan mempunyai dasar dalil baik yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits dimana sebelum lebaran, setiap kaum muslimin memiliki kewajiban untuk melaksanakan puasa Ramadhan selama satu bulan penuh dengan tujuan La’allakum tattaqun yang berdasarkan QS. Al-Baqarah 2 ayat : 183 dan standarisasi orang yang bertaqwa dengan jelas difirmankan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam QS. Ali-Imran 3 ayat : 133-135

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman : Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS. Ali-Imran 3 ayat : 133)

Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS. Ali-Imran 3 ayat : 134)

Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui (QS. Ali-Imran 3 ayat : 135)

Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala, pada ayat di atas terdapat kalimat wal kadziminal ghaidz wal afiina aninnas wallahu yuhibbul muhsinin yang berarti menahan amarah, memaafkan kesalahan orang lain dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik

Saling meminta maaf dan memaafkan merupakan ciri orang yang bertakwa, sehingga landasan dalil inilah yang mendasari para ulama kita mentradisikan saling maaf-maafan dengan keluarga, kerabat dan kepada sesama kaum muslimin sehingga terjalinlah ikatan persaudaraan yang erat diantara kaum muslimin

Dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah Shollallahu alaihi wa sallam, beliau menyatakan, bahwa salah satu orang yang pasti tidak akan dikecewakan Allah yaitu orang yang dizalimi lalu ia memaafkan kelak di hari kiamat Allah berikan kemuliaan yang tidak terkira kepadanya

Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu Wa Ta’ala, pemberian uang di hari lebaran tidak berseberangan dalam ajaran Islam, melainkan sesuai dengan isi kandungan Al-Qur’an dan hadits dan merupakan tradisi yang baik pada QS. Ali-Imran ayat 134 di atas, Allah menyatakan salah satu ciri orang bertakwa yaitu berinfak di waktu lapang maupun sempit

Infak berarti menggunakan uang untuk segala kebaikan jika uang digunakan untuk foya-foya dan tidak ada manfaatnya, maka tidak dinamakan infak, kata infak jika disertai fi sabilillah maka uang itu digunakan hanya untuk kepentingan agama semata pada ayat 134 surat Ali-Imran itu ditutup dengan kalimat Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik

Kata ihsan yang menjadi muhsinin dalam Tafsir Al-Qurthubi didefinisikan menggunakan segala kenikmatan Allah untuk ketaatan kepada Allah, sehingga tidak salah jika lebaran tradisi di Indonesia dengan berbagi rezeki baik dalam bentuk uang ataupun makanan

Dua tradisi lebaran di Indonesia yaitu saling memaafkan dan saling berbagi rezeki kepada keluarga, kerabat dan kepada kaum muslimin hal ini sesuai dengan ajaran Islam dan berdasarkan pada Al-Qur’an dan hadits

Sumber : Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Sahih Al-Bukhari (Kairo : Dar Thuq An-Naja, 1422 H), Vol. 1, hlm. 16, Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin (Beirut : Darul Fikr, 2008),  Vol. 3, hlm. 187, Muhammad Sayid At-Thantawi, Tafsir Al-Wasith (Kairo : Darun Nahdlah, 1997), Vol. 1, hlm. 414, Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi (Kairo : Darul Kutub Al-Misriyah, 1964), Vol. 13, hlm. 315)                   

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: