Oleh: Rifa Anggyana, S.Pd., M.M. (Ketua Pembina IRMA Jawa Barat)
Berdasarkan tafsir dari Kementerian Agama Republik Indonesia, sebuah ayat yang berisi tantangan Allah SWT turun untuk menjawab tuntutan orang-orang Yahudi dan kawan-kawannya. Ayat ini dijelaskan dengan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir dari Sa’id dari Ibnu ‘Abbas, bahwa Salam bin Misykam dan kawan-kawannya sesama orang Yahudi datang menghadap Rasulullah SAW dan berkata, “Bagaimana kami akan mengikuti engkau Muhammad, padahal engkau telah meninggalkan kiblat kami dan Al Qur’an yang engkau bawa itu susunannya tidak seperti kitab Taurat. Karena itu turunkanlah kepada kami sebuah kitab yang dapat kami periksa. Kalau kamu tidak sanggup mendatangkannya, maka kami akan mendatangkan kepada kamu sesuatu yang sama dengan yang engkau bawa itu.”
Maka Allah SWT menjawabnya dengan menurunkan dalam surat Al Isra ayat 88:
قُلْ لَّىِٕنِ اجْتَمَعَتِ الْاِنْسُ وَالْجِنُّ عَلٰٓى اَنْ يَّأْتُوْا بِمِثْلِ هٰذَا الْقُرْاٰنِ لَا يَأْتُوْنَ بِمِثْلِهٖ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيْرًا
“Katakanlah, “Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa (dengan) Al Qur’an ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lain.”
Selain dari ayat tersebut, ada pula beberapa ayat yang menyatakan tantangan Allah SWT terhadap siapapun yang meragukan atau mempertanyakan Al Qur’an. Sebagai kitab suci, Al Qur’an memang tidak berdiri sendiri, sebagaimana Nabi Muhammad SAW juga diutus untuk menyempurnakan ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya. Sebelum Al Qur’an Allah SWT telah pula menurunkan kitab-kitab atas umat terdahulu seperti Taurat bagi Musa AS, Zabur bagi Daud AS dan Injil bagi Isa al Masih AS.
Namun demikian dalam perjalanannya kitab-kitab tersebut mengalami percanggahan. Bagi Bani Israel, kitab Taurat atau Torah sendiri memiliki perbedaan antara yang disebut sebagai Torah Samaria (Samaritan Pentateuch) yang berabjad Samaria dan Masorah yang berabjad Ibrani.
Mengenai perubahan dalam kitab Taurat, seorang pakar filologi dari Universitas Airlangga, Menachem Ali, menjelaskan bahwa perubahan Taurat ini memang sudah ada dari zaman Yesus hidup. Sebagai contoh ia menjelaskan waktu Yesus bertemu dengan perempuan Samaria yang berkata bahwa dia beribadah di Gunung Gerizim.
Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah.” Kata Yesus kepadanya: “Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem. (Yohanes 4:20-21 Terjemahan Baru)
Dalam Taurat Masorah, tempat Abraham mempersembahkan Ishak adalah Gunung Moria (erets hamoriyah) yang kemudian menjadi kota Yerusalem, sedangkan dalam kitab Taurat Samaria, tempat Abraham mempersembahkan Ishak adalah Gunung Gerizim (erets hamoret).
Kaum Samaria meyakini bahwa Tuhan telah menulis Taurat mereka dan memberikan salinan pertamanya kepada Musa bersama dengan dua loh batu yang berisi Sepuluh Perintah Allah. Mereka meyakini bahwa mereka tetap melestarikan teks yang tersusun secara ilahi itu tanpa kerusakan hingga sekarang. Orang-orang Samaria biasanya menyebut Taurat mereka קושטה (“Sang Kebenaran”). Kaum Samaria hanya menyertakan Taurat dalam kanon Alkitab mereka. Mereka tidak mengakui inspirasi atau kepenulisan ilahi kitab-kitab lainnya dalam Tanakh Yahudi.
Tanakh adalah suatu akronim dari masing-masing abjad Ibrani pertama dari ketiga pembagian tradisional Naskah Masorah, yaitu: Torah atau Taurat (“Ajaran”, juga dikenal sebagai Lima Kitab Musa), Nevi’im (“Nabi-nabi”) dan Ketuvim (“Tulisan”); yang kemudian menjadi akronim “TaNaKh”. Nama “Mikra”, artinya “yang dibaca”, adalah kata Ibrani lainnya untuk Tanakh. Kitab-kitab Tanakh diteruskan oleh setiap generasi, dan menurut tradisi para rabi juga disertai dengan suatu tradisi lisan, disebut Taurat Lisan.
Kemudian, Alkitab Ibrani atau Kitab Suci Ibrani adalah suatu istilah yang digunakan oleh para akademisi alkitab untuk merujuk pada Tanakh, yakni kumpulan teks-teks Yahudi kanonikal, yang mana merupakan sumber tekstual umum beberapa edisi kanonik dari Perjanjian Lama Kristen. Semua kitab dalam Perjanjian Lama ditulis sebelum kelahiran Yesus, dan bersama dengan Perjanjian Baru membentuk kesatuan sebuah kitab yang disebut Holy Bible. Dan, Bible sendiri diterbitkan ke dalam berbagai bahasa dimana tidak ikut menyertakan bahasa aslinya, sehingga tak jarang memicu adu argumen ataupun pertentangan di kalangan sesama Kristiani sendiri, seperti dalam hal Trinitas yang ditolak oleh Unitarian. Bahkan, hingga kini juga masih terdapat silang pendapat dalam meyakini apakah bahasa asli dari Perjanjian Baru.
Di sisi lain, orang Yahudi sendiri menolak ajaran Kristen meskipun Tanakh telah dimasukan sebagai bagian dari Bible. Bagi kaum Yahudi itu hanyalah klaim sepihak. Bahkan, menurut rabbi Yahudi, seperti Tovia Singer misalnya, orang Kristen sama sekali mengabaikan perspektif Yahudi sebagai pemilik aslinya dalam menafsirkan Perjanjian Lama atau Tanakh. Dan, antara rabbi Yahudi dan theolog kristiani juga kerap tampil untuk memperdebatkan ajaran mereka.
Terhadap semua hal tersebut, nampak benar apa yang disampaikan oleh Allah SWT:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Artinya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? Kalau kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS. An-Nisa’: 82).
Dan, Allah SWT telah juga menegaskan:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya.” (QS. Al-Hirj [15]: ayat 9)
Dari tafsirAl Qur’an.id, menurut As-Sa’di dalam Taisīr al-Karīm al-Raḥmān (halaman 429), Allah menjaga Al-Quran pada masa penurunannya dan setelah masa penurunannya. Pada masa penurunannya Allah menjaga Al-Quran dari pencurian setan sedangkan pada masa sesudah penurunannya, Allah menjaga Al-Quran dari perubahan, penambahan, maupun pengurangan lafad dan penggantian maknanya. Cara Allah menjaga Al-Quran salah satunya dengan menyimpannya di dalam dada utusan-Nya, yaitu Nabi Muhammad, dan kemudian di dalam dada umat Nabi Muhammad.
Al Qurṭubī dalam al-Jāmi’ Li Aḥkām al-Qur’ān (juz 5, halaman 10) menceritakan kisah dari Yaḥyā ibn Akṡam. Khalifah al-Makmun mempunyai majlis diskusi. Suatu hari di tengah kerumunan orang, datang seorang laki-laki Yahudi yang bagus pakaiannya, tampan wajahnya. Laki-laki tersebut mampir berbicara dengan bagus dan lugas.
Ketika dia akan pergi, Khalifah al-Makmun memanggilnya dan berkata “apakah kamu seorang bani Isrāil?” ”benar” jawabnya. Lalu Khalifah al-Makmun berkata “masuklah ke dalam Islam” Dia menjawab “(agama Yahudi) agamaku dan agama nenek moyangku” dan dia pun pergi.
Setahun kemudian, dia datang lagi sebagai seorang muslim dan dia membahas dengan baik ilmu fikih. Setelah majlis selesai, Khalifah al-Makmun memanggilnya lagi dan berkata “bukankan kamu teman kami kemarin?” dia menjawab “betul”
Khalifah al-Makmun lanjut bertanya “apa yang membuat kamu masuk Islam?” dia bercerita “aku pergi dari hadapanmu dan tak lama kemudian aku melakukan sebuah . Aku menulis Taurat berjumlah tiga naskah. Di dalamnya ada bagian yang aku tambahi dan aku kurangi. Lalu aku masukkan ke dalam gereja. Maka kitab tersebut laku terjual. Kemudian aku melakukan hal yang sama pada Injil lalu aku jadikan barang dagangan dan laku terjual.
Hal tersebut juga aku lakukan pada Al-Quran. Lalu aku tawarkan pada penjual buku dan dia pun menelaahnya. Ketika dia tahu ada penambahan dan pengurangan pada Al-Quran dia melempar dan tidak mau membelinya. Dari kejadian itu aku tahu bahwa Al-Quran terjaga dan karena itulah aku masuk Islam.
Hari ini, siapapun bisa melihat “Naskah Al Qur’an Birmingham”, yakni selembar perkamen yang di atasnya telah ditulis dua lembar naskah Al Qur’an awal atau muṣḥaf. Pada tahun 2015, manuskrip yang disimpan oleh Universitas Birmingham ini, diidentifikasi bertanggal radiokarbon antara tahun 568 dan 645 M (dalam kalender Islam, antara tahun 56 sebelum Hijrah dan 24 setelah Hijrah). Dengan demikian, lembaran ini dituliskan sezaman dengan masa hidup Nabi Muhammad SAW (570–632 M).
Birmingham Quran manuscript
Naskah ditulis dengan tinta di atas perkamen, menggunakan aksara Arab Hijazi dan masih terbaca dengan jelas. Pada lembaran itu lestari terlihat bagian Surat 19 (Maryam) sampai 20 (Taha). Bacaan ayat-ayatnya pun sama dengan yang dibaca oleh milyaran orang muslim hari ini. Al Qur’an dari Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, secara terang merupakan mukjizat yang dapat disaksikan keberadaannya hingga akhir zaman. ()