Oleh: Intan Safitri – SMK Negeri 5 Kota Bekasi
“Sebaik-baiknya tempat pulang hanyalah Engkau, Ya-Rabb.”
“Bapak enggak bisa biayai kuliah kamu, Jian. Keadaan ekonomi sekarang benar-benar sangat turun drastis. Kamu enggak apa-apa, kan?”
Aku hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Bapak, sebenarnya ingin menangis, tetapi aku tidak ingin menambah pikiran Bapak. Sudah cukup perjuangan laki-laki cinta pertamaku, sudah saatnya aku yang menggantikan posisi Bapak.
“Enggak apa-apa, Pak. Aku enggak memaksa untuk menjalani hal yang sekiranya tidak bisa aku raih. Mungkin nanti ada waktunya untuk aku kuliah, meraih gelar sarjana yang aku inginkan, pasti ada waktunya asal aku berusaha. Aku akan kerja.”
Terlihat mata Bapak berkaca-kaca, dan mengatakan, “Maaf, Jian, Bapak belum bisa menjadi Bapak terbaik untuk kamu.”
Kali ini air mataku pun tidak bisa kubendung, tanganku meraih tubuh Bapak, memeluknya.
“Bapak sudah jauh lebih terbaik untuk aku. Menjadi laki-laki pertama yang mencintaiku sepenuh hati, seorang Bapak yang tidak pernah mengeluh untuk hidupku, berjuang untukku sekolah, dan masih banyak lagi. Bapakku hebat,” jawabku jujur.
“Bapak belum bisa biayai kamu kuliah, Jian.”
“Tugas Bapak memberikan biaya selama sekolah dua belas tahun sudah cukup. Kuliah atau tidak biar Allah yang menunjukkan jalannya. Akan ada hikmah dibalik semua ini, Pak. Tidak harus sekarang, dan masih banyak cara lain. Bapak jangan pikirkan itu, ya, biar aku yang menjalani proses semua ini,” kataku meyakinkan Bapak.
Aku melihat ibu dan adik-adikku ikut menangis. Masih ada empat orang yang harus kubuat tersenyum, aku tidak boleh menyerah.
“Untuk Ibu, Restu, Gilang, tunggu Kakak sukses, ya. Temani Kakak di sini, jangan ke mana-mana. Kakak yakin bisa sukses. Membahagiakan kalian dan mengajak kalian keliling menikmati dunia ini. Jangan khawatir, Kakak bisa lewati ini semua. Doakan terus, ya!”
Bapak, Ibu, Restu, dan Gilang mengangguk dan tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Tatapan yang sebenarnya mengatakan bahwa semua ini berat, tetapi aku yakin, selama ada Allah di hidupku, aku masih punya jalan untuk meraih semuanya, semangat diriku.
***
Satu bulan setelah pengumuman kelulusan sekolah, aku masih saja duduk di kursi tua milik bapak. Merenungi sunyinya malam, tidak ada bintang, tidak ada bulan. Senyap sekali malam ini.
“Rabb … aku lemah.”
Aku menangis melihat hidup yang masih seperti ini. Tidak ada perubahan yang benar-benar nyata. Masih ada di titik yang menurutku paling bawah. Aku ingin seperti orang lain, tanpa harus berpikir untuk besok harus makan apa.
“Kalau tidak beri aku bahagia, maka izinkan aku untuk membahagiakan keluargaku,” ucapku sembari menghela napas.
“Kak …?” Suara Restu terdengar nyaring di telingaku.
“Kakak kenapa tidak lanjut kuliah? Padahal ada tawaran bagus dari sekolah, sudah diberi akses kenapa enggak dilanjutkan?” Restu berucap sembari menyerahkan secarik kertas berisikan tawaran kuliah dari sekolah yang harus ditandatangani oleh kedua orang tua.
Aku terdiam mendengar itu. Air mataku yang menjawab.
“Kakak kenapa nangis? Ada kata-kata aku yang salah? Aku minta maaf, Kak!” Restu duduk di sampingku, memelukku.
Bibirku rasanya kelu, ingin menjawab, namun, masih terasa sulit. Biarkan air mataku mengalir.
Setelah sekian lama aku terdiam, akhirnya aku menjawab, “Kalau Kakak kuliah siapa yang mau bantu bapak? Sekarang aja Kakak masih nganggur.”
“Apa salahnya mencoba, Kak? Seharusnya Kakak percaya, setiap jalan yang Kakak lalui pasti ada titik terangnya sendiri. Maaf, Kak, kalau semisal aku banyak bicara, tetapi Kakak punya potensi yang harus dikembangkan, sayang kalau tidak dilanjutkan. Merenung, menangis, meratapi, dan menganggap semuanya sulit dilalui, tandanya Kakak enggak percaya adanya Allah yang selalu membantu jalan hamba-Nya. Aku enggak mau Kakak kayak gini terus, Kakakku harus kuat.”
“Melihat Kakak setiap hari yang hanya seperti memikul semua beban yang enggak seharusnya dipendam rasanya sakit, Kak. Mata yang selalu dipenuhi air mata setiap salat membuat hatiku teriris, Kakak yang ceria memberiku semangat sudah redup, padahal aku butuh itu, Kak.”
“Kakak yang dulu ada di mana, Kak? Kakakku yang selalu percaya dengan takdirnya sekarang ada di mana? Kenapa harus redup? Kenapa? Aku ingin Kakakku yang dulu kembali, itu saja. Tidak perlu kaya, tidak perlu banyak uang, asalkan senyum selalu terlihat sudah jauh lebih berarti.”
“Aku tahu ini semua berat, aku tahu, Kak. Kita jalani semua ini bersama. Kakak enggak sendirian. Tolong kembali menjadi Kak Jingga yang dulu. Kita mulai semuanya sama-sama. Tetaplah bersinar seperti bulan purnama, jangan sampai padam seperti api yang disiram air.”
“Percayalah, Kak. Takdir tidak akan salah posisi. Hal terindah sudah dibungkus rapi untuk setiap insan, bersabar, tawakal, ikhtiar menjadi akses utama untuk meraih itu semua. Allah akan selalu bersama orang-orang yang sabar, selamanya ada di hati kita, yakinlah.”
Kata-kata gadis dua tahun lebih muda dariku membuatku sadar. Tidak seharusnya aku redup, tidak seharusnya aku memadamkan semangatku sendiri akibat beban yang aku pikul sejauh ini. Hidupku tidak harus berakhir sekarang, hidupku masih panjang.
Langit kosong membuat hujan turun menghiasi malam ini. Suara tangisku dihalangi rintikkan hujan deras yang membasahi semesta. Aku cukup merasa ketenangan.
Rabb … maafkan hamba-Mu ini.
Rabb … izinkan aku untuk memulai hidupku yang baru, bantu aku.
Rabb … beriku petunjuk, aku akan melewati semua ini dengan bismillah, batinku dengan semua harapan dan doa. Duduk, berargumen, menyatakan apa yang dipendam membuatku tenang. Ini jalanku, ini hidupku, dan harus berjalan dengan baik, apa pun hasilnya.
“Terima kasih, Restu, sudah membuat Kakak sadar.” Aku memeluk Restu. “Jangan sungkan memberi Kakak pesan istimewa agar Kakak terus bangkit, ya. Kamu pondasi terkuat Kakak setelah bapak dan ibu. Sehat selalu, ya! Tetap di sini.”
Restu mengangguk diiringi air mata. “Kakak juga tetap di sini, selalu ceria, peluk aku, tersenyum, tertawa, itu semua menjadi kebahagiaanku. Semangat untuk Kakak, dan aku! Kita hebat, kita kuat, kita sempurna.”
