Hari Terbaik tentang Ayah dan Ibu

Hari Terbaik tentang Ayah dan Ibu

Oleh: Intan Safitri – SMK Negeri 5 Kota Bekasi

 Kalaupun ada hari terbaik tentang kedua orang tuaku, yaitu ketika mereka menungguku hadir ke dunia ini.

Tepat umurku menginjak delapan belas tahun di tahun yang menurutku datar dan hanya mengikuti alur yang terjadi. Harapan seadanya. Senyum sewajarnya. Bahagia hanya lewat tidak menetap. Seperti pejuang titik koma, aku masih berharap untuk hidup.

Kakiku terus menyusuri jalan di bawah teriknya matahari di pertengahan Kota Jakarta. Suara lalu lalang kendaraan terus mengusik telingaku. Banyak pejalan kaki yang tidak mennghiraukan orang lain, hanya mementingkan diri sendiri.

Tepat di depan mataku ada kursi putih panjang. Aku menghampiri kursi itu dan duduk untuk beristirahat sebentar. Tatapanku tidak ada hentinya melihat langit cerah siang ini. Sinar terang matahari yang benar-benar menyinari menurutku.

“Kak … boleh minta airnya sedikit tidak? Aku haus, belum bisa beli minum. Uangku belum cukup.”

Aku yang semula menunduk akhirnya mengarahkan kepalaku ke sumber suara.

Gadis sekitar lima tahun. Wajah pucat pasi. Baju robek. Rambut berantakan.

“Boleh. Kebetulan Kakak bawa dua.” Aku menyerahkan botol yang masih utuh airnya. “Kamu minum, ya! Wajahmu pucat.”

Gadis kecil itu meminumnya sampai habis. Aku ikut tersenyum bisa memberi dengan sesuatu yang tidak seberapa, tapi sangat luar biasa baginya.

“Namamu siapa?” tanyaku.

“Nadia. Nama Kakak siapa?” Gadis itu bernama Nadia.

“Arum. Salam kenal, ya! Senang bisa bertemu denganmu.”

“Salam kenal juga, Kak Arum! Senang juga bisa bertemu dengan Kakak.”

Di keadaannya seperti ini dia masih mampu tersenyum lebar. Seperti tidak ada beban dia tetap menyapa seseorang yang dia temui dengan rasa hangat. Aku melihat Nadia selalu menikmati hidup, tidak semua orang mampu, aku contohnya.

“Minumnya terima kasih banyak, ya, Kak! Sangat bermanfaat untuk aku.”

Kata terima kasih dikatakan oleh anak kecil yang tidak kusangka sebelumnya. Tutur katanya yang sopan. Nada bicaranya yang merendah. Orang tuanya sangat luar biasa sudah mendidik gadis sekecil ini menjadi gadis yang mampu menghargai.

“Sama-sama, Nadia. Kalau boleh tahu, orang tua kamu di mana? Kamu sendirian aja?” tanyaku lagi.

“Orang tua aku sudah pulang ke rumah yang nyaman bersama Allah karena kecelakaan, Kak. Aku jadi hidup sendirian, walaupun banyak teman rasanya masih sepi soalnya tidak ada ayah dan ibu,” jawab Nadia dengan tenang.

Aku terdiam sejenak. Melihat tangan yang seharusnya dia pegang adalah buku dan pulpen, sekarang hanya alat kecrek untuk mendapatkan uang agar bisa bertahan hidup. Kisah pilu yang lagi-lagi membuatku ingin menangis, melihat Nadia yang tenang, aku malu.

“Kamu pernah merasa sedih?” tanyaku.

“Sedih sudah pasti, Kak. Tapi aku harus lebih banyak belajar dewasa  tanpa arahan dari ayah ataupun ibu. Aku tinggal di kota besar, di sini banyak pelajaran yang aku ambil. Salah satunya, kerja di gedung tinggi pun mental dan hatinya belum tentu sehat.”

Kalimat berat yang tidak semua orang mampu keluarkan, sekarang bisa dikeluarkan oleh gadis kecil yang memiliki tatapan menyejukkan. Aku hanya bisa tersenyum sembari mengusap kepala Nadia, dia benar-benar membuatku kagum.

“Aku rindu ayah ibu, Kak. Aku menyesal karena belum bisa bahagiakan mereka. Ditinggal di umur yang belum bisa menghasilkan banyak uang. Tapi aku selalu ingat kata-kata guru ngajiku, katanya orang tua sudah bahagia dan memiliki hari terbaik, yaitu saat aku dilahirkan. Maka dari itu aku enggak mau mengecewakan mereka selama aku masih hidup.”

Air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi.

Aku memeluknya erat. Nadia benar-benar berhasil membuatku kembali kuat. Nadia adalah gadis yang hebat, gadis yang kuat.

“Kakak enggak bisa berkata-kata banyak, Nad. Tapi kamu cukup membuat Kakak sadar dan bisa menangis haru seperti ini. Gadis sekecil kamu mampu bersyukur sejauh ini sangat luar biasa. Kamu hebat. Kamu adalah calon orang sukses, dan kamu akan sukses suatu saat nanti, Kakak yakin itu.”

“Kakak juga hebat. Entah permasalahan apa yang membuat air mata Kakak turun. Aku hanya bisa berikan Kakak semangat. Apa pun permasalahannya, tetap berdamai sama keadaan, Kak. Obat terbaik kehidupan adalah diri kita sendiri.”

Benar. Sejauh apa pun kita berlari untuk mencari ketenangan di penatnya kehidupan. Hal yang paling bagus untuk dilakukan adalah berdamai dengan diri sendiri.

Menyalahkan sesuatu yang telah terjadi juga salah. Menginginkan hal yang jauh luar biasa dari sebelumnya juga membuat diri sendiri sakit jika tertampar realita. Sebenarnya yang kita perlukan hanya obat dari segala permasalahan. Memaafkan, dan mencoba berdamai adalah obatnya.

“Jangan pernah pulang kalau belum tenang, Kak. Maksudnya adalah, jangan pernah menganggap diri sendiri baik kalau belum memaafkan rumahnya. Dulu aku juga seperti itu, tapi jika menerima takdir sudah pasti akan diberi ketenangan.”

Tertampar dari perkataan Nadia. Sering kali mengabaikan diri sendiri.

Seharusnya aku yang lebih dulu tenang dari semua permasalahan.

Seharusnya aku yang lebih dulu memaafkan dari setiap garis takdir kehidupan.

Seharusnya aku yang lebih dulu membaik.

Seharusnya aku.

“Aku izin pamit, ya, Kak. Aku harus mencari uang untuk makan. Terima kasih untuk pertemuan hari ini. Sangat bemakna.”

“Kamu mau makan?” Aku bertanya dan Nadia mengangguk. “Biarkan uangmu nanti disimpan. Untuk hari ini Kakak traktir. Bebas untuk makan apa saja. Anggap saja ini tanda perkenalan kita.”

Aku yang melihat bibir Nadia tersenyum, tapi matanya tidak bisa berbohong, dia berkaca-kaca seraya ingin menangis.

“Masih banyak makanan yang belum aku makan, Kak. Kalau ada tawaran seperti ini aku sangat berterima kasih. Semoga rezeki Kakak selalu berkah.”

“Aamiin.”

Tidak harus menjadi sempurna untuk menikmati hal indah.

  Tidak harus menjadi kaya untuk bahagia.

  Tidak harus banyak uang untuk memanfaatkan arti kehidupan.

  Kita hanya patut bersyukur, dari apa yang telah terjadi.

 

-TAMAT-

 

 

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: