Oleh: Intan Safitri – SMK Negeri 5 Kota Bekasi
Terkadang, harus kita sendiri yang pertama kali tepuk tangan atas hasil perjuangan dan jerih payah selama ini.
“Sudah berapa buku yang kamu buat?” tanya seseorang.
“Kalau aku jawab, kamu juga tidak akan percaya,” jawabku.
“Bukannya jadi penulis itu enggak dibayar, ya? Cari hobi yang berkesan sedikit harusnya.”
Aku hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya. Harapan yang selama ini aku usahakan agar menjadi penulis hebat selalu dipatahkan. Memangnya salah, ya, jika menjadi seorang penulis? Aku juga tidak berharap mendapat uang, aku hanya ingin menyalurkan kemampuan yang aku miliki.
“Kenapa diam aja? Benar, kan, penulis itu bukan hobi yang berkesan?”
“Kalau aku jawab, hatimu lebih sakit daripada ucapanmu yang kamu keluarkan.”
“Kayak gitu aja enggak bisa jawab, bagaimana mau jadi penulis.”
Semua kata-kata yang aku dengar sudah sering terdengar. Berulang kali sudah aku coba lupakan. Cacian yang mereka ucapkan tidak bisa mematahkan semangatku, walaupun terkadang harus ada air mata yang jatuh.
Aku yakin, ini adalah perjalanan awal yang aku lalui untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Menjadi seseorang yang kuat bukanlah hal yang mudah, tetapi menjadi seseorang menganggap ini sebuah ujian adalah hal yang luar biasa.
Di saat perjuanganku diinjak-injak, aku percaya, suatu saat akan ada suara tepukan yang gemuruh di seluruh sudut sekolah. Kata selamat yang menggema di seluruh kota. Aku yakin itu, perjuangan tidak akan pernah membohongi hasil.
“Memang benar, ya, berbicara dengan penulis itu enggak akan dijawab. Pura-pura menjadi seseorang pendiam, padahal aslinya enggak sama sekali. Dasar penulis bermuka dua.”
“Tidak semua pertanyaan ada jawaban, terkadang ada pertanyaan yang akan dibayar dengan bukti. Suatu saat, ucapan yang kamu katakan akan berbalik apa yang kamu katakan. Allah itu adil, Ca. Selalu ingat, Ca, roda akan selalu berputar.”
“Setidaknya, kalau kamu ingin dihargai, cobalah hargai orang lain lebih dulu. Parasmu indah, kalau ucapanmu sangat tidak bermanfaat dikatakan, parasmu tidak akan dilihat. Jangan buat orang lain terluka, apalagi sampai mengadu ke pencipta-Nya.”
“Aku diam bukan berarti aku kalah. Prosesku tidak harus kamu ketahui. Hasilku tidak harus kamu nikmati. Mau berulang kali kamu hancurkan prosesku, itu tidak akan bisa. Cobalah benahi diri sendiri.”
“Belajar untuk memanusiakan manusia, ya, Ca. Tidak semua orang sekuat aku.”
Setelah aku diam, akhirnya mencoba buka suara. Ingin rasanya menangis, tapi aku yang paling banyak tawa. Ingin rasanya menyerah, tapi aku dijadikan motivasi terbaik teman-temanku.
Tidak harus sempurna untuk menjadi sayap kehidupan, kalaupun sayapmu hanya separuh, cobalah terbang walaupun akhirnya terjatuh. Setidaknya kamu sudah berusaha.
***
November 2021.
Aku memandang langit malam ini. Setelah mengirim naskah yang aku harapkan menjadi langkah berikutnya untuk membawa nama baik sekolah, dan aku.
Naskah yang aku ketik khusus untuk ibu.
Naskah yang aku ketik hingga menangis.
Naskah yang menurutku sangat luar biasa.
Naskah yang aku harap akan menang.
“Kenapa masih di luar? Tidak tidur, Nak? Sudah malam.”
Suara merdu, menenangkan jiwa, itu dia ibu. Wanita yang menjadi alasanku bertahan sejauh ini. Penyemangat hidupku yang tidak pernah usai menjadi perisai dan pelindung terhebat. Wanita yang satu-satunya tidak pernah meninggalkanku di gelapnya dunia.
“Langit malam ini indah, Bu. Seperti Ibu.”
“Kalau langit indah seperti Ibu, berarti bintang adalah kamu.”
Aku dan Ibu saling melempar senyum. Membalas kata-kata puitis ibu membuatku punya banyak kosakata untuk menulis. Semua tentang ada ibu seperti lampu, hidupku jadi selalu terang.
“Semoga Allah memberi kamu kemenangan di lomba kali ini, ya, Kayla. Allah tahu perjuangan kamu dari nol menulis bagaimana. Duduk berjam-jam di depan laptop, jari yang tidak ada hentinya mengetik, dengan isi kepala yang memikirkan berbagai imajinasi,” ucap Ibu.
“In syaa Allah, Bu. Allah Maha Baik. Doakan saja. Restu Ibu adalah restu Allah, kalau Ibu merestui aku menang, in syaa Allah, Allah juga akan merestuinya,” jawabku sembari memeluk Ibu.
“Tidak ada hentinya Ibu berdoa dan merestui jalan terbaik yang akan kamu ambil, Nak. Lakukan apa saja yang menurut kamu baik untuk dijalani, pasti Ibu dukung. Akan ada keajaiban nantinya, asal berusaha.”
“Aku janji, Bu. Aku akan selalu berusaha untuk Ibu yang menjadi alasan aku bertahan hidup sampai sejauh ini. Tetap bersama aku, Bu. Meskipun nantinya rambut panjang Ibu tidak akan hitam lagi, setidaknya Ibu selalu indah di mataku yang mampu menyinari kehidupanku.”
“Tidak janji. Tapi, bismillah.”
Setelah saling duduk bersama dan bertukar pikiran, malam semakin larut. Akhirnya aku dan ibu memutuskan untuk beristirahat. Menjemput pagi dengan memulihkan badan dan pikiran. Ada hari esok yang harus dijalani dengan tenaga yang luar biasa.
***
Tepat pukul 11.00 WIB.
Ada pesan masuk nomor tidak dikenal. Terdapat surat yang berbentuk dokumen.
Pesan singkat pemberitahuan bahwa aku harus menghadiri pengumuman juara lomba. Namaku, dan beberapa nama lainnya. Seperti mimpi, tapi ini nyata.
Aku berlari memeluk Ibu. Mengabarkan kabar baik yang benar-benar harus aku bagikan pertama kali sang pemberi restu perjalananku.
“BU …! AKU JUARA MENULIS TINGKAT KOTA BEKASI!
Ibu sampai terkejut, detik kemudiannya ikut menangis.
“Aku berhasil, Bu. Terima kasih atas semua doa yang Ibu panjatkan. Aku sayang Ibu, untuk selamanya.”
“Ini semua juga karena perjuangan kamu, Nak. Jangan berhenti di jalan, ya. Lanjutkan bakatnya. Minta petunjuk sama Allah setelah ini kamu harus melakukan apalagi. Cobalah untuk selalu melibatkan Allah di setiap perjalananmu, hidupmu pasti jauh lebih baik.”
“Jangan merasa puas di awal, ya. Terus semangat. Jangan sombong. Ingat, roda kehidupan itu pasti berputar.”
“Anak Ibu hebat, anak Ibu luar biasa.”
Tidak ada hentinya aku menangis. Ini benar-benar penghargaan hidupku yang sangat luar biasa.
Terima kasih, Ya Allah.
-Tamat-