Oleh: Fahri Novan Dwi Kusnadi
Kader IRMA Provinsi Jawa Barat
Para mayat tak lagi berbisik,
dihulur dari langit besi,
jatuh bagai bintang yang dipaksa menghilang,
tak sempat berdoa, tak sempat menggenggam.
Di ujung kaki para penjajah terkutuk,
tubuh kaku itu terhempas dalam sunyi,
langit menangis tapi tak seorang pun mendengar,
bumi retak menyimpan derita,
darah mengalir tanpa nama, tanpa suara.
Dari atap-atap yang menjulang tinggi,
tangan-tangan yang kehilangan hati,
menyeret, melemparkan kemanusiaan,
seperti benda yang tak bernilai.
Apakah angin yang mencatatnya,
atau debu yang menyelimuti tanah luka?
Sementara waktu melangkah,
seperti biasa, tanpa menoleh pada tangisan,
Mengabaikan derai kesedihan yang mendalam.


