KRISIS LINGKUNGAN ADALAH CERMIN DARI KRISIS KEMANUSIAAN

KRISIS LINGKUNGAN ADALAH CERMIN DARI KRISIS KEMANUSIAAN

Oleh : Dzikri. Ashiddiq. Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu Wata’ala, bumi kini sedang menuju titik kritis. Dari perubahan iklim ekstrem, banjir, dan kekeringan, hingga polusi yang meracuni udara dan laut semuanya menandakan bahwa alam sedang berada dalam masa kritis.

Namun, kerusakan bumi bukan hanya soal alam yang rusak, ini juga cerminan dari rusaknya nilai moral manusia dan lemahnya pendidikan kita dalam membentuk kesadaran ekologis.

Dunia sedang menghadapi percepatan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya. Laporan UNEP (2023) menyebutkan emisi gas rumah kaca global telah mencapai 57,4 gigaton CO2-eq, naik lebih dari 1,5 gigaton hanya dalam satu tahun. Konsentrasi CO2 di atmosfer kini menembus 420ppm, tertinggi dalam 800 tahun terakhir (WMO, 2023).

Dampaknya terasa dimana-mana : suhu global meningkat, gletser mencair, hutan tropis menyusut, dan lebih dari 1,3 miliar orang terdampak langsung oleh degradasi lahan (UN Stats 2023). Jika laju ini tidak berubah, laporan IPCC memperkirakan suhu bumi dapat naik 1,5-2 C sebelum 2035.

Di balik kerusakan ekologis, ada krisis moral. Banyak manusia modern terjebak dalam budaya konsumtif, memperlakukan alam sekadar sumber daya yang bisa dieksploitasi. Studi oleh Suharjo (2022) menegaskan bahwa rendahnya moralitas lingkungan berkontribusi signifikan terhadap perilaku tidak ramah lingkungan di masyarakat.

Dalam etika lingkungan, manusia seharusnya menjadi penjaga, bukan penguasa bumi. Namun dalam praktiknya, keegoisan dan ketidakpedulian sering mengalahkan tanggung jawab moral.
Pendidikan seharusnya menjadi kunci perubahan, tetapi masih banyak sistem pendidikan yang belum menanamkan nilai keberlanjutan dan kepedulian ekologis secara mendalam.

Penelitian oleh Murniawaty (2018) menemukan bahwa kesadaran lingkungan siswa meningkat signifikan ketika pendidikan moral dikombinasikan dengan praktik ekopedagogi. Namun, implementasinya masih minim.

Sekolah sering kali fokus pada aspek kognitif, melupakan pembentukan karakter ekologis. Padahal, tanpa membangun empati terhadap alam sejak dini, ilmu hanya akan melahirkan generasi cerdas tapi abai terhadap lingkungan sekitar, alam dan bumi ini. Karena pendidikan sejati bukan hanya mengajar berpikir, tetapi juga mengajar berperilaku baik.

Meskipun bumi ini tengah menghadapi krisis multidimensi, harapan tetap ada. Setiap langkah kecil yang kita lakukan sangat berarti seperti menanam pohon, mengurangi plastik, mendukung pendidikan lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan, dan tidak membuang sampah sembarangan semuanya bagian dari upaya penyembuhan bumi.

Mari mulai dari diri sendiri, dari hari ini. Selamatkan bumi, selamatkan moral, dan selamatkan masa depan. Karena rumah kita hanya satu (bumi) dan waktu kita untuk menyelamatkannya tidak banyak.

Sumber Referensi : United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Emissions Gap Report 2023. https://www.unep.org/interactives/emissionss-gap-report/2023, World Meteorogical Organization (WMO). (2023). State of the Global Climate 2023, United Nations Statistics Division. (2023). Suharjo, B. (2022). Etika Lingkungan dan Krisis Moral dalam Prespektif Filsafat Lingkungan, Jurnal Filsafat Lingkungan, 4(2), 123-134, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2023). AR6 Synthesis Report : Climate Change 2023, Murniawaty, I, Susilowati, N,& N, A.E. P. (n.d). An Assessment of Environmental Awarness : The Role of Ethic Education. 2 (September 2018), 225-236.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: