ANTARA GHAZA DAN SUMATERA BAHWA MUSIBAH BUKANLAH TANDA KEHANCURAN SEBUAH UMAT MELAINKAN ALAT UKUR KEKUATANNYA

ANTARA GHAZA DAN SUMATERA BAHWA MUSIBAH BUKANLAH TANDA KEHANCURAN SEBUAH UMAT MELAINKAN ALAT UKUR KEKUATANNYA

Oleh : Dzikri. Ashiddiq. Pembaca yang dirahmati Allah Subhanahu Wata’ala, Dr. Imaduddin Khalil pernah menegaskan bahwa musibah bukanlah tanda kehancuran sebuah umat, melainkan alat ukur kekuatannya. Dari cara sebuah umat merespons musibah apakah ia runtuh, atau justru bangkit dengan kesadaran yang lebih dalam di sanalah ditentukan masa depannya.

Sering kali kita cepat menyimpulkan bahwa musibah adalah tanda murka Allah. padahal sejarah orang-orang terbaik justru penuh dengan luka, air mata, perjuangan, dan keguncangan. Ghaza hari ini yang diterpa cuaca ekstrem, Sumatera yang berulang kali diuji dengan Tsunami hingga musibah banjir bandang nyatanya musibah tidak selalu datang sebagai hukuman.

Sering kali ia hadir sebagai proses, sebuah tahap pendidikan Allah bagi hamba-Nya dalam penempaan yang panjang. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah merasakan pahitnya kekalahan di Uhud. Padahal beliau adalah manusia terbaik, dengan barisan sahabat terbaik pula.

Umar bin Khattab, seorang Khalifah yang adil dan kuat, diuji kepemimpinannya dengan wabah Tha’un yang merenggut ribuan nyawa, lalu disusul tahun kelaparan yang menggetarkan Madinah. Dan Nuruddin Zanki, ketika sedang berjihad menghadapi pasukan Salib, justru dihadapkan pada gempa dahsyat yang mengguncang negeri Syam.

Jika musibah selalu diartikan sebagai hukuman pada hamba-hamba yang terlalu jauh, lalu di mana kita tempatkan semua peristiwa ini yang terjadi pada hamba-hamba yang shalih ? Al-Qur’an sendiri memberikan cara pandang yang lebih proporsional dan adil. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat : 214 : Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan, dan diguncang.

Kata kuncinya ada pada satu kata yang kuat : zulzilu (diguncang). Bukan sekadar diuji, tapi diguncang hingga ke akar, hingga rasa aman runtuh, hingga rasa ego dan merasa tangguh sendiri tidak lagi bisa diandalkan.

Mengapa orang-orang beriman harus diguncang dulu sebelum meraih kemenangan ? sebab iman pejuang tangguh yang akan mengemban amanah besar tidak cukup hanya berdiri di permukaan. Ia harus menghujam ke dalam tanah sejarah dan realitas. Allah ingin mengokohkan kaki-kaki mereka terlebih dahulu, membersihkan kebergantungan yang rapuh, dan memurnikan sebuah niat dan tujuan, sebelum mereka kelak memikul tanggung jawab peradaban yang lebih besar.

Share on facebook
Share on twitter
Share on whatsapp
Baca Juga: