Oleh: Intan Safitri – SMK Negeri 5 Kota Bekasi
Kalau bukan dirimu sendiri, siapa lagi?
“Besok panggil orang tua kamu ke sekolah. Saya mau bicara dengan beliau perihal bagaimana kamu di sekolah.”
Tatapan Juno kosong setelah wali kelas mengucapkan kata orang tua. Lantas siapa yang harus dia beritahu? Tidak ada kepedulian di antara ayah dan ibunya.
“Kalau mau keluarkan saya dari sekolah ini, keluarkan saja, Bu. Memanggil orang tua pun percuma, mereka tidak akan peduli tentang bagaimana kehidupan saya. Perilaku di sekolah bagaimana pun mereka tidak akan peduli,” ucap Juno.
“Jangan banyak alasan.”
“Alasan apa pun yang saya keluarkan, tidak akan pernah membuat Ibu ataupun orang lain mengerti tentang keadaan hidup saya.” Juno tersenyum tipis yang mengartikan kekecewaan. Air matanya ingin sekali jatuh, tapi harus lelaki itu tahan.
Ibu Retno adalah wali kelas Juno yang selalu melihat sisi baik lelaki itu. Anak didiknya yang satu ini memang harus dihadapi dengan rasa sabar, meskipun harus ada hukuman lebih dulu untuk membuat Juno jera, walaupun mustahil.
“Saya nakal juga ada alasannya, Bu. Bukan berarti saya anak yang tidak baik. Saya hanya ingin mencari ketenangan dan kebahagiaan yang selama ini belum saya rasakan selama hidup. Kalau tingkah laku saya yang kurang baik di sekolah ini, saya minta maaf, Bu! Saya haus akan perhatian.”
Juno memilih pergi membawa tasnya. Mungkin hari ini dia akan memilih untuk bolos lagi. Tidak ada alasan mengapa Juno seperti ini, yang jelas dia hanya ingin tenang.
Langkah kaki Juno terus menyusuri halte bus. Hujan petir yang menghiasi langit sore kali ini membuatnya sedikit lega, hanya hujan yang mampu memulihkan keadaannya.
Juno memilih duduk di tempat yang sudah disediakan, ketika matanya menangkap setiap sudut koridor halte, tidak sengaja menemui perempuan berhijab panjang dan gamis yang warnanya senada.
Bibir Juno terangkat sempurna, rasa gejolak di tubuhnya menjadi tenang.
“Selama gue sekolah di SMAN 1 enggak pernah lihat perempuan secantik dan setenang itu.”
Juno mendekat ke arah perempuan itu, mencoba mendengar suara yang dia keluarkan bersama temannya, tampak serius.
“Kamu enggak harus bunuh diri buat menyelesaikan masalah, Irene.”
“Kamu itu wanita kuat, anak yang hebat. Buktinya kamu bisa bertahan sejauh ini.”
“Kalau kamu belum mendapatkan kebahagiaan dari hal apa pun itu termasuk dari orang tuamu, cobalah bahagiakan dirimu sendiri. Allah tahu jalan apa yang harus kamu lalui, kalau sekarang lagi di bawah, kita enggak tahu nanti bagaimana.”
Juno merasa dadanya sesak. Sejauh ini Juno merasa jauh dari yang menciptakannya. Salat jarang, mengaji tidak pernah, bahkan datang ke masjid pun tidak.
Kepalanya berpikir hebat, apakah ujian yang kali ini dia dapat tentang hidup penyebabnya karena jauh dari Allah? Mungkin bisa saja.
Juno terus saja mendengarkan semua penuturan dari perempuan itu.
“Manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah, Ren. Serumit apa pun permasalahan hidupmu, kalau kamu melibatkan Allah di setiap langkah kakimu pasti akan berjalan dengan baik, walaupun kamu melewatinya sendirian.”
“Tidak harus jadi nakal untuk dikenal hebat. Tidak harus jadi kaya untuk disegani. Tidak harus jadi sesuatu untuk memeluk kebahagiaan. Jika tangan dan kakimu seirama untuk berusaha kedepannya, aku yakin tubuh dan hatimu akan menjadi utuh untuk melewati prosesnya.”
“Jangan pernah melukai, memberi cap, menyakiti, menghina, dan membuat dirimu jelek di pandangan manusia, Ren. Tapi jadilah seseorang yang bisa menikmati dan menjalani semua prosesnya hingga puncak kejayaan yang nantinya akan Allah kasih.”
Tidak disangka, perempuan yang membuat tenang penglihatannya, perempuan itu juga mampu membuat Juno tidak bisa berkata-kata.
Selama ini Juno sering melukai dirinya sendiri, membuat dirinya dipandang jelek oleh manusia lainnya. Ini semua sebab tidak ada yang memberinya arahan dengan baik.
“Percayalah takdir semata-mata kamu mempercayai adanya Allah di dalam hatimu. Sekecil apa pun hal yang bisa membuatmu tersenyum, lakukan. Jangan semakin memperkeruh keadaan hanya perihal haus ingin dimengerti.”
Lelaki yang terus mendengar ucapan perempuan berhijab panjang itu meneteskan air matanya. Mencoba untuk tenang dan tidak terlihat oleh siapa pun. Juno hanya ingin merenungi, meresapi bagaimana kehidupannya sejauh ini.
Suka, duka, lara, pahitnya kehidupan sudah Juno rasakan. Lelah dengan kesendirian, tanpa siapa pun itu, namun, masih bisa dilalui dengan baik. Tandanya takdir Allah itu benar-benar nyata.
Tangannya menggenggam tas yang masih dia gendong. Juno ingin marah dengan keadaan seperti ini yang sudah mengambil jalan untuk jadi anak yang nakal dan tidak baik. Penyesalan memang di akhir.
“Cobalah untuk mengerjakan salat lima waktu, mengaji, mengikuti kajian dan mendengarkan ceramah, perlahan hidupmu akan membaik. Kamu hanya perlu waktu untuk menerima takdir, tapi kamu juga harus ingat tidak selamanya kesedihan terus memeluk dirimu yang ingin bangun.”
“Caranya gampang, Ren. Seperti yang dijelaskan dalam ayat Al-Quran surah Al-Qashash yang berbunyi, ‘Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi’. Antara dunia dan akhirat harus balance.”
“Aku yakin kamu bisa. Belajar menerima sesuatu yang terjadi. Ukirlah dirimu dengan kebahagiaan yang kamu ciptakan sendiri. Kalau sekiranya lelah, istirahat sejenak, setelah itu coba lagi. Jangan pernah menyerah hanya karena satu keadaan, ya! Semangat!”
Berasa diberi semangat akhirnya Juno tersenyum. Senyum penuh dengan keikhlasan. Senyum yang tidak pernah dia ukir. Juno sangat berterima kasih kepada perempuan berhijab itu, karenanya Juno sadar.
Tidak ada yang tidak mungkin kalau kita berusaha. Tidak ada hasil yang buruk kalau niat kita baik. Kalau sekarang belum bisa, cobalah terus hingga menemukan hasil akhir yang terbaik.
-Tamat-